Gedung Agung Yogyakarta
a. Lokasi
Gedung Agung terletak di ujung selatan Jalan Ahmad Yani, Ngupasan, Gondomanan,
Yogyakarta. Gedung Agung berada di kawasan Malioboro. Terletak di pusat kota
sehingga sangat mudah untuk menjangkaunya. Gedung Agung terletak di sebelah
barat Museum Benteng Vredeburg, Monumen Umum Serangan 1 Maret, Taman Pintar,
dan di sebelah utara Bank BNI.
Source : Google Maps
b. Akses
Lokasi Gedung Agung relatif dekat dari Bandara Adi Sucipto (8 km),
Stasiun Tugu (1 km), Stasiun Lempuyangan (3 km), Terminal Giwangan (6 km).
Ada beberapa rute dan alat transportasi yang dapat Anda gunakan
1. Dari Bandara Adi Sucipto menggunakan Bus Trans Jogja (Rute 3A atau
3B) yang melewati Jl. Malioboro kemudian berhenti di Halte Gedung Agung.
2. Dari Terminal Giwangan menggunkan bis kota jalur 4 atau 10 kemudian
turun di depan Gedung Agung.
3. Dari Stasiun Lempuyangan wisatawan dapat menggunakan taxi.
4. Dari Stasiun Tugu wisatawan dapat menggunakan becak ataupun berjalan
kaki.
c. Jam Operasional
Senin-Sabtu : Pukul 09.00 - 15.00
Hari Minggu dan Hari Libur Nasional Tutup.
d. Harga Tiket Masuk
GRATIS
e. Sejarah
stana kepresidenan Yogyakarta awalnya adalah rumah kediaman resmi residen
Ke-18 di Yogyakarta (1823-1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks
Smissaert, yang sekaligus merupakan penggagas atau pemrakarsa pembangunan
Gedung Agung ini.
Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 di masa penjajahan Belanda. Ini
berawal dari keinginan adanya "istana" yang berwibawa bagi
residen-residen Belanda. Arsiteknya bernama A. Payen; dia ditunjuk oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu. Gaya bangunannya mengikuti
arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Pecahnya Perang Diponogero (1825-1830), yang oleh Belanda disebut Perang Jawa, mengakibatkan pembangunan gedung jadi tertunda. Musibah / gempa bumi terjadi dua kali pada hari yang sama, menyebabkan tempat kediaman resmi residen Belanda itu runtuh. Namun bangunan baru didirikan dan rampung pada tahun 1869. Bangunan inilah yang menjadi Gedung Induk Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang kini disebut Gedung Negara.
Sejarah juga mencatat bahwa pada tanggal 19 Desember 1927, status
administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi
provinsi. Penguasa tertinggi Belanda bukan lagi residen, melainkan gubernur.
Dengan demikian, gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 tersebut menjadi
kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya pendudukan
Jepang.
Beberapa Gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E Jasper
(1926-1927), P.R.W van Gesseler Verschuur (1929-1932), H.M de Kock (1932-1935),
J. Bijlevel (1935-1940), serta L Adam (1940-1942). Pada masa pendudukan Jepang,
istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi
Zimmukyoku Tyookan.
Riwayat Gedung Agung itu menjadi sangat penting dan sangat berarti tatkala pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg tersebut resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda, dan istana itu pun berubah menjadi Istana Kepresidenan sebagai kediaman Presiden Soekarno, Presiden I Republik Indonesia, beserta keluarganya. Sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarga ketika itu tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072 / Pamungkas, yang tidak jauh dari kompleks istana.
Riwayat Gedung Agung itu menjadi sangat penting dan sangat berarti tatkala pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg tersebut resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda, dan istana itu pun berubah menjadi Istana Kepresidenan sebagai kediaman Presiden Soekarno, Presiden I Republik Indonesia, beserta keluarganya. Sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarga ketika itu tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072 / Pamungkas, yang tidak jauh dari kompleks istana.
Sejak itu, riwayat istana (terutama fungsi dan perannya) berubah. Pelantikan
Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947),
diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia
(pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Rebulik yang masih muda itu pun
dibentuk dan dilantik di Istana ini pula.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur oleh tentara Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa yang dikenal dengan Agresi Militer II itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, beserta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Mulai tanggal tersebut, istana kembali berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi kediaman Presiden.
Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi Gedung Agung pada awalnya berdirinya Republik Indonesia (tanggal 3 Juni 1947). Pada saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, selama tiga tahun (1946-1949), gedung ini berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden I Republik Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak tanggal 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta / Gedung Agung digunakan sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala negara dan kepala pemerintahan dan tamu-tamu negara, telah berkunjung atau bermalam di Gedung Agung itu. Tamu negara yang pertama berkunjung ke gedung itu adalah Presiden Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan, Raja Bhumibol Adulyajed dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari Pakistan (1960) berkunjung dan bermalam di gedung ini. Setahun kemudian (1961), tamu negara itu adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair. Pada tahun tujuh puluhan, yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal dari Filipina (1971), Ratu Elizabeth II dari Inggris (1974), serta Perdana Menteri Srimavo Bandaranaike dari Sri Langka (1976).
Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu negara itu adalah Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahat di Gedung Agung, antara lain, Putri Sirindhom dari Muanghthai (1984), Ny. Marlin Quayle, Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari Inggris (1989), dan Kepala Gereja Katolik Paus Paulus Johannes II (1989).
Pada tahun sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke Gedung Agung itu adalah Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Shah dari Malaysia (1990), Kaisar Akihito Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur oleh tentara Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa yang dikenal dengan Agresi Militer II itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, beserta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Mulai tanggal tersebut, istana kembali berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi kediaman Presiden.
Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi Gedung Agung pada awalnya berdirinya Republik Indonesia (tanggal 3 Juni 1947). Pada saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, selama tiga tahun (1946-1949), gedung ini berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden I Republik Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak tanggal 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta / Gedung Agung digunakan sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala negara dan kepala pemerintahan dan tamu-tamu negara, telah berkunjung atau bermalam di Gedung Agung itu. Tamu negara yang pertama berkunjung ke gedung itu adalah Presiden Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan, Raja Bhumibol Adulyajed dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari Pakistan (1960) berkunjung dan bermalam di gedung ini. Setahun kemudian (1961), tamu negara itu adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair. Pada tahun tujuh puluhan, yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal dari Filipina (1971), Ratu Elizabeth II dari Inggris (1974), serta Perdana Menteri Srimavo Bandaranaike dari Sri Langka (1976).
Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu negara itu adalah Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahat di Gedung Agung, antara lain, Putri Sirindhom dari Muanghthai (1984), Ny. Marlin Quayle, Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari Inggris (1989), dan Kepala Gereja Katolik Paus Paulus Johannes II (1989).
Pada tahun sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke Gedung Agung itu adalah Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Shah dari Malaysia (1990), Kaisar Akihito Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).
F. Keunikan
1. Terdapat 5 bangunan, Yaitu : Gedung utama,
Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma
Saptapratala.
2. Menyimpan berbagai benda bersejarah.
3. Di halaman terdapat 2 buah patung raksasa,
yaitu : Dwarapala (Penjaga Pintu), dan Tugu Dagoba atau yang disebut Tugu Lilin
oleh masyarakat Yogyakarta yang terbuat dari batu andesit.
4. Tempat pelantikan kabinet saat ibukota
Indonesia berada di Yogyakarta.
Kurangnya minat masyarakat untuk mempelajari sejarah mengakibatkan Gedung
Agung sepi akan pengunjung. Tidak seramai kawasan wisata belanja Malioboro. Keberadaan
gedung agung sebenarnya merupakan saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia untuk
memperebutkan kemerdekaan. Mari kita kunjungi objek wisata bersejarah sebagai
wujud rasa cinta tanah air.
Referensi